Jumat, 06 Januari 2012

tugas akhir estetika sebagai pengganti ujian


Analisis dengan kajian estetika dari prosa jawa klasik yang berbentuk tembang macapat, (wulangreh, wedhatama, tripama, wulangputri, sana sunu,  dll) pilih salah satu dari karya sastra tersebut. Tugas di Aploud di blok ini sesuai jadwal ujian yang tercantum di jurusan.  

25 komentar:

  1. Nama : Dzulfiqar Ade Fadjri
    NIM : 2611411015


    ANALISIS PROSA DALAM MACAPAT
    MENAK NGAJRAK
    (R. Ng. YASADIPURA I)
    III. PEJAHIPUN RAJA KISTAHAM
    Sinom
    1. Patih Bestak aturira (8a)
    Punika ratu kang prapti (8i)
    Raja Jasma raja Karma (8a)
    Ratu kadang ing Kohkarib (8i)
    Dadya pangajur jurit (7i)
    Sriwulan kadhatonipun (8u)
    Samya andeling yuda (7a)
    Wurine punika nenggih (8i)
    Inggih raja Jeras lawan Malijeras (12a)

    2. Arnasi lawan Ardiman (8a)
    Ardisaman ardikapi (8i)
    Kosani kadhatonira (8a)
    Wurine punika malih (8i)
    Raja durdanas nenggih (7i)
    Lan Raja Durnadam ratu (8u)
    Jongmirah prajanira (7a)
    Nulya wonten prapta malih (8i)
    Pangkat-apangkat lampahe kang para nata. (12a)

    Arti:

    1. Patih Bestak menjawab, “Para raja yang datang itu ialah, Raja Jasmara, Jakarma, raja-raja yang bersaudara dengan Raja Kohkarib. Semuanya menjadi barisan pelopor dalam peperangan. Kerajaannya di daerah Sriwulan. Semuanya dapat diandalkan dalam peperangan. Yang berada di belakangnya ialah Raja Jeras, dan Malijeras.


    2. Nama-namanya ialah Ardasi dan Ardiman. Ardisaman dan Ardikapi. Kerajaannya ialah Kosani. Yang menyambung di belakangnya ialah Raja Durdanas, dan Raja Durdanam. Kerajaannya ialah di Jongmirah.”
    Kemudian ada lagi yang datang. Para Raja itu berjalan berturut-turut menurut urutan kepangkatannya.

    Macapat adalah tembang tradisional di Tanah Jawa yang dari jaman dahulu sampai sekarang ini masih ada keberadaannya sebagai budaya peninggalan nenek moyang kita. Setiap bait macapat mempunyai baris kalimat yang disebut gatra, dan setiap gatra itu mempunyai suku kata yang disebut guru wilangan dan yang terakhir untuk penyelarasan bunyi yang disebut guru lagu.
    Tembang sinom memiliki arti untuk kaum muda supaya mencari ilmu sebanyak-banyaknya.
    Dalam macapat/prosa ini menceritakan tentang peperangan disebuah Kerajaan. Ada seorang Raja yang memimpin peperangan disana.
    Keindahan dalam prosa ini bisa dilihat dari guru lagu dan guru wilangannya yaitu 8a, 8i, 8a, 8i, 7i, 8u, 7a, 8i, 12a. Kemudian guru gatranya yang terdiri dari sembilan (9) baris tiap baitnya. Lalu aliterasi yaitu dalam Bahasa Jawa di sebut “purwakanthi”, purwakanthi yang urut bahasanya disebut purwakanthi basa, purwakanthi di bedakan menjadi 3 jenis yaitu purwakanthi swara, purwakanthi sastra lan purwakanthi basa. Adapun purwakanthi yang terdapat pada tembang di atas yaitu:
    1. Purwakanthi Swara : Raja Jasma Raja Karma, Inggih raja Jeras lawan Malijeras
    2. Purwakanthi Sastra : Samya andeling yuda
    3. Purwakanthi Basa : Pangkat-apangkat lampahe kang para nata

    BalasHapus
  2. NAMA : ARIFUDIN
    NIM : 2611411009

    TUGAS AKHIR ESTETIKA
    SERAT TRIPAMA
    Dhandanggula
    Yogyanira kang para prajurit
    Lamun bisa sira anulada
    Duk inguni caritane
    Andelira sang prabu
    Sasrabahu ing maespati
    Aran pati suwanda
    Lelabuhanipun
    Kang ginelung tri prakara
    Guna karya purun ingkang den antepi
    Nuhonimtrah utama

    Lire lelabuhan tri prakawis
    Guna; bisa saniskareng karya
    Budi dadya nanggule
    Kaya sayektinipun
    Duk bantu perang maganda nagri
    Amboyong putri dhomas
    Katur ratunipun
    Purune sampun tetela
    Aprang tandhing lan ditya ngalengka nagri
    Suwanda mati ngrana

    Artinya :
    Seyogyanya wahai para prajurit
    Tirulah sebisa-bisanya
    Cerita dizaman dahulu
    Yakni tangan kanan sang prabu
    Sasrabahu di maespati
    Yang bernama patih suwanda
    Bekal pengabidanya
    Meliputi tiga hal
    Guna, kaya dan purun yang selalu dipegang
    Sebagai seorang manusia utama

    Adapun ketiga bekal pengabdian itu
    Guna ; berarti serba bisa
    Berusaha untuk selalu berhasil
    Kaya; sesungguhnya
    Ketika menjadi panglima perang
    Melawan negeri magada
    Ia sukses memboyong putri domas
    Kemudian dihaturkan kepada rajanya
    Purun; jelas ketika melawan raksasa alengka
    Suwanda gugur dimedan perang

    Analisis :
    Pada tembang dhandangula diserat tripama ini banyak terjadi menggunakan makna-makna kiasan dan gaya-gaya bahasa, sehingga tembang tersebut terasa lebih indah dan menarik.

    Guru gatra yang terdapat dalam tembang tersebut yaitu : (8i,10a,8e,7u,7a,6u,8a,12i,7a,6u,8a,12i,7a,9i,11a,8e,6u,8a,12i,7a)
    Guru wilangan yang terdapat dalam tembang tersebut yaitu :
    (8,10,8,7,7,6,8,12,7,6,8,12,7,9,11,8,6,8,12,7)
    Guru lagu tang terdapat dalam tembang tersebut yaitu :
    (i,a,e,u,a,u,a,i,a,u,a,i,a,e,u,a,i,a)
    Tembang dandhanggula yang ada didalam serat tripama menceritakan atau bertemakan kisah seorang prajurit yang patuh dicontoh pada sekarang ini, ditembang itu dikisahkan sifat sifat ketiga tokoh tersebut. Kenikmatan lainya juga dapat dirasakan dari susunan huruf yang disajikan karena terdapat pengkiasanya.
    Makna dari tembang ini juga dapat diterapakan dalam kehidupan sekrang ini karena pada saat itu dapat menjadi contoh.keindahan-keindahan terlihat jelas pada setiap barisnya, antara satu baris dengan baris yang lain maupun antar satu suku kata dengan yang lainya saling terkait. Keindahan lainya dapat dilihat dari guru lagu,guru wilangan serta terdapat purwakanthi. Purwakanthi sendiri dapat menjadikan indah suatu tembang karena pengkhiasanya, purwakanthi ada tiga yaitu purwakanthi basa atau lumaksita ,purwakanthi sastra,lan purwakanthi swara. Dalam tembang ini terdapat purwakanthi swara yaitu “Andelira sang prabu’’.dari situlah kita bisa melihat sisi lain keindahan sebuah tembang.

    BalasHapus
  3. Nama : Farah Nur Afini
    NIM : 2611411018

    MENAK NGAJRAK
    (Karangan R. Ng. Yasadipura I)
    ANALISIS BERDASARKAN KAJIAN ESTETIKA
    Karya-karya kesusastran Jawa klasik sejak zaman Mataram Anyar, umumnya ditulis menggunakan metrum macapat. Beberapa contoh karya sastra Jawa berbentuk prosa yang ditulis didalam tembang macapat termasuk diantaranya yaitu Menak Ngajrak, Serat Wedhatama, Serat Wulangreh, Serat Kalatidha dan sebagainya. Menak Ngajrak dalam bagiannya, ditulis dengan tembang macapat pangkur. Berikut uraiannya:
    II. RAJA TAMTANUS DADOS UTUSAN BADHE DIPUNPEJAHI
    PANGKUR
    1. Ing dalu datan winarna (8a)
    enjing mangkat sang prabu ing Yunani (11i)
    rajeng Laras samekta wus (8u)
    warnanen Sri Nusirwan (7a)
    lawan Prabu Jobin siniweng wadya gung (12u)
    andher sagung para raja (8a)
    patih Bestak munggeng ngarsi. (8i)
    2. Praptanira rajeng Yunan (8a)
    dumarojog neng kuda mandhi tulis (11i)
    tedhak satepining tarub (8u)
    cingak sagung tumingal (7a)
    nancebaken towok sang Prabu Tamtanus (12u)
    kang kinarya nancang kuda (8a)
    lajeng tumameng mring ngarsi. (8i)
    TERJEMAHAN :
    II. RAJA TAMTANUS SEBAGAI UTUSAN HENDAK DIBUNUH
    1. Malam harinya tidak diceritakan. Setelah hari pun pagi berangkatlah raja Yunani itu. Raja Laras sudah siap siaga. Tersebutlah Raja Nusirwan beserta Raja Jobin, sedang dihadap oleh bala tentaranya. Para raja duduk berderet-deret. Yang berada paling depan ialah Patih Bestak.
    2. Kedatangan Raja Tamtanus yang membawa surat itu begitu tiba-tiba. Ia turun di tepi kemah, membuat yang hadir terpesona padanya. Sang Prabu Tamtanus menancapkan tombaknya dipergunakan untuk menambatkan kudanya. Kemudian ia maju ke depan.

    BalasHapus
  4. ANALISIS MENAK NGAJRAK DENGAN KAJIAN ESTETIKA
    Dari dua buah bait kutipan tembang macapat pangkur yang merupakan bagian dari Menak Ngajrak diatas dapat kita analisis dalam kajian estetika bahwa didalam Menak Ngajrak (tembang pangkur) terdapat:
    a. Guru Gatra (jumlah baris tiap bait/wilangan larik saben pada) yang berjumlah 7 baris tiap baitnya.
    b. Guru Wilangan (jumlah suku kata tiap baris) yang secara urut berjumlah 8, 11, 8, 7, 12, 8, 8.
    c. Guru Lagu (rima akhir baris) yang secara urut berakhir dengan vokal a, i, u, a, u, a, i.
    d. Purwakanthi guru swara (keteraturan suara yang umumnya adalah suara vokal) seperti pada contoh kalimat “kang kinarya nancang kuda” ( keteraturan swara a).
    e. Purwakanthi guru sastra (keteraturan pada konsonan) contoh dalam kalimat “tedhak satepining tarub” (keteraturan sastra t).
    f. Purwakanthi guru wanda (keteraturan pada suku kata) contohnya dalam kalimat “kang kinarya nancang kuda” (keteraturan suku kata ang).
    Selain hal-hal diatas, didalam makna Menak Ngajrak dikandung pula nilai estetika pada ceritanya, yaitu menceritakan tentang Negara Ngajrak, Taminasar, dimana raja jin kalah berperang melawan raksasa. Berdasarkan kitab Adam Makna, Asanasil mengusulkan pada Taminasar agar minta bantuan kepada Amir Ambyah. Usul tersebut diterima, dan patih Asanasil bersama anaknya, Sadatsatir diperintaahkan berangkat ke Arab. Sesampainya di Arab, mereka berdua menyaksikan Mekah di kepung pasukan Medayin. Mereka segera menemui Amir Ambyah dan meminta ijin untuk memerangi pasukan Medayin. Amir Ambyah mengijinkan. Kedua jin tersebut lalu mengamuk, membuat pasukan Medayin berantakan dan lari tunggang langgang.
    Amir Ambyah kemudian pergi ke Ngajrak. Di kota Emas, Amir Ambyah ditemui Nabi Kilir yang memberikan pelajaran cara melawan raksasa. Berkat pelajaran tersebut, akhirnya Amir Ambyah berhasil menumpas pasukan para raksasa.
    Raja jin Taminasar sangat berterimakasih kepada Amir Ambyah. Ia menghadiahi cemeti wasiat peninggalan Nabi Sulaeman, serta mengangkat Amir Ambyah sebagai menantunya, dinikahkan dengan putrinya, Dewi Ismayawati. Dari perkawinan ini lahir seorang putri yang diberi nama Dewi Kuraisin.
    Selama Amir Ambyah tinggal di Ngajrak, Mekah kembali dikepung pasukan Medayin. Dewi Muninggar dan pasukan pengawalnya berhasil diselamatkan oleh Betaljemur, diungsikan kenegara Katijah. Mendengar hal itu, Amir Ambyah minta ijin Taminasar kembali ke Arab. Di perjalanan ia bertemu Nabi Kilir yang menganugrahinya pusaka. Selama dalam Perjalan, Amir Ambyah selalu berperang melawan para raksasa. Untunglah patih Asanasil dan Kuraisin segera menyasul, mengikuti dan membantunya.
    Suatu ketika Amir Ambyah bertemu raksasa bernama Rames, yang berhasil membawa terbang Amir Ambyah dan Melemparkannya ke tengah laut. Amir Ambyah berhasil ditolong malaekat. Ketika bertemu lagi dengan Rames, Rames meminta maaf dan diampuni Amir Ambyah, oleh Amir Ambyah, Rames dikawinkan dengan sesama raksasa, dan mempunyai anak berujut kuda yang diberi nama Sekardiyu, yang setelah besar menjadikuda tunggangan Amir Ambyah. Sementara itu, Rames yang selalu berusaha akan membunuh Amir Ambyah, akhirnya tewas karena disepak oleh Sekardiyu, anaknya sendiri. Amir Ambyah pun meneruskan perjalanannya, dan bertemu dengan Ayub dan Balul yang memberitahukan bahwa Negara Arab dikepung musuh.
    Sementara itu bahaya kekurangan makanan menimpa negara Katijah. Umarmadi berusaha mencari makanan ke Negara Karsinah. Ia kemudian diambil menantu oleh raja Karsinah dan dinobatkan menjadi raja. Tiba-tiba putri raja Karsinah meninggal. Menurut adat Negara tersebut, suami harus ikut dikuburkan. Umarmadi tidak mau, ia disergap dan ditangkap banyak orang. Untunglah Amir Ambyah tiba di negara Karsinah dan menolong Umarmadi. Adat di Negara tersebut pun diperbaharui, setelah itu ia melanjutkan perjalanan ke Katijah dan bertemu dengan Muninggar.
    Demikian cerita yang terdapat dalam Menak Ngajrak. Pemaparan diatas merupakan sebagian kecil dari analisis berdasarkan kajian estetika yang terdapat didalamnya karena tentunya Menak ini dapat dikaji lebih jauh lagi.

    BalasHapus
  5. Nama : Siti Fatimah
    NIM : 2611411010

    SERAT WULANG PUTRI
    Wulang putri, serat karya sastra jawa klasik, bentuk puisi tembang macapat, bahasa Jawa-baru ditulis oleh Nyai Adisara (1816 ) seorang pujangga wanita yang hidup pada zaman Paku Buwana IX di Kraton Surakarta. Isi teks tentang ajaran etika hidup ideal kepada putra dan putri Paku Buwana ke IX agar dalam hidupnya di dunia mencapai keseimbangan lahir dan batin.
    Aturan-aturan di dalam macapat antara lain: Guru gatra : wilangan larik/gatra saben pada (Indonesia: bait). Guru wilangan : wilangan wanda (Indonesia: suku kata) saben gatra. Guru lagu : tibané swara wanda ing pungkasan ing saben gatra. Ada juga yang di sebut purwakanthi meliputi: Purwakanthi mempertegas sajak atau rima. Sebenarnya, jenis purwakanthi tidak banyak, yaiku: purwakanthi guru swara, atau yang runtut swaranya (lumrahe swara aksara menga/vokal); purwakanthi guru sastra, atau yang runtut hurufnya; purwakanthi guru basa lan purwakanthi lumaksita atau masih banyak lagi. Dalam hal ini saya akan memaparkanya dalam beberapa bait yang dikutip dari serat wulang putri bagian kinanthi Karangan paku Buwana IV:


    Dhuh ngger putri putraningsun ( 8/u )
    nadyan wis kanthi pinasthi ( 8/i )
    marang Hyang Kang Murbeng Titah (8/a)
    grahitaning para putri ( 8/i )
    saprahastaning pra putra ( 8/a )
    arantaraning pamikir. ( 8/i )

    Marmeng ngger aywa sireku ( 8/u )
    pasang sumeh jroning ati ( 8/i )
    katitik tyas tan sambada ( 8/a )
    marang apngaling Hyang Widhi ( 8/i )
    kang widagda tuhu awignya ( 8/a )
    anyolahken barang maring. ( 8/i )

    Iya ing manungsa sagung ( 8/u )
    luwih maning dera kardi ( 8/i )
    solah bawaning narendra ( 8/a )
    kang datan sepi pambudi ( 8/i )
    nggyannya anggampil agama ( 8/a )
    kasucian kang dumadi. ( 8/i )

    ...
    Kekeren awya kasusu ( 8/u )
    Sukuring ati sinepi ( 8/i )
    Piritanira kang kurang ( 8/a )
    Mring lalakoning dumadi ( 8/i )
    Dumadine kadi sarah ( 8/a )
    Anut ombaking jaladri ( 8/i )

    Yen dinadak tanpa usul (8/u )
    Asaling nalar naluri ( 8/i )
    Nalurining kang lalakyan ( 8/a )
    Yen linalar datan luwih ( 8/i )
    Winahya purbaning suksma ( 8/a )
    Suksmanen dipun katitik ( 8/i )

    BalasHapus
  6. Dari keterangan diatas dapat kita lihat dimana letak keindahan bait – bait dalam serat wulang putri bagian kinanthi memiliki enam guru gatra ( bait ), setiap bait ( gatra ) memiliki delapan guru wilangan ( suku kata ), dan guru lagu u,i,a,i,a,i. Dalam bait – bait di atas juga dapat kita lihat sisi estetikana dalam purwakanthi lumaksita seperti pada “Mring lalakoning dumadi, Dumadine kadi sarah “ dan “Asaling nalar naluri, Nalurining kang lalakyan ”. Purwakanthi Kinanthi itu salah satu tembang macapat yang umumnya menggambarakan rasa senang, cinta, dan kabijaksanaan. Kinanthi bisa mempunyai arti gegandhengan tangan lan bisa juga jeneng sawijining kembang. Ada juga yang nggandhengake kinanthi klawan Maskumambang. jika maskumambang untukorang laki- laki yang lagi dewasa, kinanthi untuk wanita. pesan dalam serat ini diperuntukkan para wanita yang akan melalukan hidup berumah tangga. Supaya kehidupan rumah tangganya baik, sejahtera lahir batin, isteri harus mengerti aturan rumah tangga, mengerti watak atau sifat suami, teliti, dan tidak boleh mendahului keinginan suami. Ajaran ini disimbolkan dengan paraga Dewi Adaniggar dari Cina, Putri Raja Ternate, Dewi Citrawati dan lima jari tangan. Simbol-simbol itu memberi gambaran mengenai kegagalan lan keberhasilan berumah tangga.

    BalasHapus
  7. Nama: Fitri Febriyanti
    NIM: 2611411023

    SERAT NITISRUTI
    Warisan luhur pangeran karanggayam pada masa pemerintahan kraton pajang.

    Satyakening naya atoh pati
    Yeka palajaraning atapa
    Gunung wesi wasitane
    Tan kedhap ing pandulu
    Ning dumadi dadining bumi
    Akasa uwang iriya
    Sasamaptanipun
    Jatining purba wasesa
    Tan ana lara pati kalawan urip
    Uripe tansah tunggal
    Panjuring sarira wus lwiring
    Larantaka nir tang baya tansah
    Nirnaken trasa wekase
    Aywa ngrasanni antu
    aywa mara sadya mateni
    wyakti datan winenang
    wawaler aselur
    singa sadya matenana
    wyakti angganteni gantunganing pati
    pan salwir wawangsulan
    (Purwadi, 2009:84-86)

    Terjemahan:
    Bersumpahlah dengan atas nam mati
    Yaitu laku orang tapa di peperangan
    Menurut ajaran luhur
    Tak henti melihat
    Pada segala hal di muka bumi
    Langit dan seisinya
    Semua hamba Tuhan
    Tiada mati tiada hidup
    Hidupnya sudah manunggal dengan Tuhan
    Badan hancur memang sudah tahu
    Kesejatian sakit mati
    Itu bukan apa-apa tiada rasa kuatir
    Hilang musnah ketakutan
    Jangan berharap mati
    Jangan hendak membunuh
    Nanti akan berganti dibunuh
    Karena semua ada balasannya

    BalasHapus
  8. Kajian estetika yang dapat kita analisis dari serat nitisruti dengan adanya ritme dan rima, seperti berikut:
    Sekar macapat Tembung Guru gatra Guru wilangan Guru lagu
    Dhandhanggula

    Satyakening naya atoh pati 10i
    Yeka palajaraning atapa 10a
    Gunung wesi wasitane 8e
    Tan kedhap ing pandulu 7u
    Ning dumadi dadining bumi 9i
    Akasa uwang iriya 7a
    Sasamaptanipun 6u
    Jatining purba wasesa 8a
    Tan ana lara pati kalawan urip 12i
    Uripe tansah tunggal 7a

    Serta bunyi bahasa meliputi purwakanthi guru sastra dan purwakanthi guru swara. Berikut pengertiannya:
    a. Purwakanthi guru swara: purwakanthi guru swara yang runtut adalah suaranya (biasanya suara vokal).
    Contoh: Panjuring sarira wus lwiring (sastra i)
    Yeka palajaraning atapa (sastra a)
    singa sadya matenana (sasstra a)
    wyakti angganteni gantunganing pati (sastra i)
    Kasussastraan lain yang dapat kita temui dalam serat diatas adalah:
    a. Wangsalan: Wangsalan yaiku unen-unen kang ngemu teges badhean, kaya dene cangkriman utawa tebakan. Tembung ‘wangsalan’ nunggal teges karo ‘wangsulan’. Ing sajroning wangsalan ngemu unen-unen, lan unen-unen iku mbutuhake wangsulan minangka batangane.
    Contoh: Gunung wesi wasitane,

    Pemahaman tentang diksi (Pemilihan kata), aliterasi, pengimajian, kata konkret, bahasa figuratif, Metrum, selain sebagai pengatur setiap jenis tembang macapat, berfungsi pula sebagai pembeda jenis tembang yang satu dengan jenis tembang yang lain. Dalam macapat terdapat jenis metrum sesuai dengan jenis tembangnya. Setiap jenis tembang, misalnya Asmaradhana, memiliki metrum tertentu yang berbeda dengan metrum jenis tembang yang lainnya, misalnya Durma.
    Penamaan Metrum Macapat
    Teks berbentuk macapat dimulai dengan pupuh dhandhanggula dan diakhiri dengan mijil. Namun pertandaan metrum tidak selalu jelas, disamping itu tidak ada tanda pergantian pupuh.
    Gaya tulisan dalam naska ini sangat khas, antara lain karena tanda madya pada tidak selalu dipakai. Bentuk sandhangan ada yang menarik yaitu suku, layar, dan cakra ditulis lebih panjang dari biasanya, pepet melebar, dan huruf la kakinya ditautkan.
    Tidak ada keterangan penulisan maupun penyalinan naskah, hanya ada keterangan candrasangkala yang berbunyi ‘jaladri bahning mahastra candra’, belum diketahui secara pasti, keterangan candrasengkala ini merupakan tarikh penulisan teks asli/bukan. Pada candrasengkala itu sendiri dijumpai tarikh berbeda yang tergantung pada pemenggalan katanya.
    Dalam beberapa teori sastra jawa terdapat nama-nama jenis tembang macapat, kadang didapati bahwa jumlah metrumnya tidak sama. Perbedaan jumlah itu berkaitan dengan dimasukannya beberapa tembang tengahan dan tembang gede ke tembang macapat. Namun demikian nama metrum macapat sesuai dengan jenis tembangnya terdiri dari, Pucung, Mijil, durma, Kinanthi, Asmaradhana, Pangkur, Sinom, Gambuh, Balabak, Jurudemung, Wirangrong dan Girisa.

    BalasHapus
  9. Nama : Aini Machmudah
    NIM : 2611411004
    Prodi : Sastra Jawa

    Analisis Kajian Estetika Serat Wulang Sunu
    Angitanipun Paku Buwana IV

    P u p u h I

    Bait 1
    Wulang sunu kang kinarya gendhing, kang pinurwa tataning ngawula, suwita ing wong tuwane, poma padha mituhu, ing pitutur kang muni tulis, sapa kang tan nuruta saujareng tutur, tan urung kasurang-surang, donya ngakir tan urung manggih billahi, tembe matine nraka.

    Terjemahan : Wulang sunu yang dibuat lagu, yang dimulai dengan tata cara berbakti, bergaul bersama orang tuanya, agar semuanya memperhatikan, petunjuk yang tertulis, siapa yang tidak mau menurut, pada petunjuk yang tertulis, niscaya akan tersia-sia, niscaya dunia akherat akan mendapat malapetaka, sesudah mati di neraka.

    Bait 2
    Mapan sira mangke anglampahi, ing pitutur kang muni ing layang, pasti becik setemahe, bekti mring rama ibu duk purwa sira udani, karya becik lan ala, saking rama ibu, duk siro tasih jajabang, ibu iro kalangkung lara prihatin, rumeksa maring siro.

    Terjemahan : Bila nanti kamu melaksanakan petunjuk yang tertuang dalam serat pasti baik pada akhirnya berbakti kepada ibu bapak, ketika pertama kali diperlihatkan akan perbuatan baik dan buruk dari ibu bapak ketika kamu masih bayi, ibumu lebih sakit dan menderita memelihara kamu

    BalasHapus
  10. Kajian Estetika dalam Serat Wulang Sunu:

    Serat Wulang Sunu merupakan hasil cipta karya dari Pangeran Paku Buwana IV. Serat Wulang Sunu muncul pada abad 18-19 M saat kondisi politik kerajaan Surakarta dalam penjajahan bangsa Eropa, kemudian munculah karya ini yang bertujuan untuk mengembalikan dan membuat suasana tentram, damai dan makmur rakyat Surakarta pada saat itu. Dilihat dari segi estetika yang terkandung didalamnya, Serat Wulang Sunu memiliki banyak aspek keindahan yang nampak pada pilihan kata (diksinya), disusun dengan indah dalam bentuk tembang dandhanggula, terangkai manis menjadi suatu kesatuan utuh yang mampu membangun tatanan makna dan nilai keluhuran tanpa mengabaikan unsur keindahan yang merupakan ciri khas karya Serat itu sendiri.
    • Bait pertama dalam Serat Wulang Sunu nampak istimewa dengan tatanan bahasa yang tersusun rapi dan indah. Pada Serat Wulang Sunu ini terdiri dari 10 gatra, pada bait ini wanda atau suku katanya berkisar anatara 7 hingga 12 dengan gaya bahasa yang lugas dan mudah difahamai isi serta kandungan maknanya. Bait ini berisikan mengenai ajaran atau wejangan kepada manusia untuk bergaul dan memperlakukan orang tua dengan baik agar memperoleh kemulian dihadapan ‘Sang Hyang Kawekas’ .
    • Bait Kedua Serat Wulang Sunu tak jauh berbeda dengan bait pertama yang terdiri dari wanda dan suku kata yang tersusun dan berderet dengan indah. Pada bait ini berisi keterangan bahawa barang siapa yang menjalankan dan menerapkan isi dari serat ini sudah barang tentu ia akan menjadi seorang yang berbakti kepada sang ibu dan ayah yang telah banyak menderita membesarkan, merawat, dan mengasuh dengan sepenuh jiwa.

    Secara keseluruhan dari kedua bait pada Pupuh 1, Serat Wulang Sunu berisikan filosofi dan ajaran luhur tentang arti dan tata cara memuliakan orang tua sebagai wujut bakti seorang anak kepada orang tuanya. Secara umum Serat ini dapat dijadikan pegangan hidup di dunia ini untuk menjalani kehidupan sehari-hari dalam kaitannya mencari ilmu, etika, terhadap guru, terhadap orang tua dan sesama manusia dalam rangka menciptakan perikehidupan masyarakat Jawa yang damai dan tentram tidak melanggar aturan dan larangan sehingga nantinya akan selamat baik di dunia maupun di akhirat yang menjadi tujuan bagi seluruh umat manusia.

    BalasHapus
  11. NAMA : URIPATUL AENI
    NIM : 2611411005
    ANALISIS SERAT WULANGREH
    SERAT WULANGREH
    PUPUH I
    DHANDHANGGULA

    01
    Pamedare wasitaning ati, ujumantaka aniru Pujangga, dahat muda ing batine. Nanging kedah ginunggung, datan wruh yen akeh ngesemi, ameksa angrumpaka, basa kang kalantur, tutur kang katula-tula, tinalaten rinuruh kalawan ririh, mrih padanging sasmita.
    02
    Sasmitaning ngaurip puniki, yekti ewuh yen ora weruha, tan jumeneng ing uripe, akeh kang ngaku-aku, pangrasane sampun udani, tur durung wruh ing rasa, rasa kang satuhu, rasaning rasa punika, upayanen darapon sampurna ugi, ing kauripanira.
    03
    Jroning Quran nggoning rasa yekti, nanging ta pilih ingkang unginga, kajaba lawan tuduhe, nora kena den awur, ing satemah nora pinanggih, mundak katalanjukan, tedah sasar susur, yen sira ajun waskita, sampurnane ing badanira, sira anggugurua.
    04
    Nanging yen sira ngguguru kaki, amiliha manungsa kang nyata, ingkang becik martabate, sarta kang wruh ing hukum, kang ngibadah lan kang wirangi, sokur oleh wong tapa, ingkang wus amungkul, tan mikir pawewehing liyan, iku pantes sira guronana kaki, sartane kawruhana.
    05
    Lamun ana wong micara kaki, tan mupakat ing patang prakara, aja sira age-age, anganggep nyatanipun, saringana dipun baresih, limbangen lan kang patang : prakara rumuhun, dalil qadis lan ijemak, lan kijase papat iku salah siji, ana-a kang mupakat.
    06
    Ana uga den antepi, yen ucul saka patang prakara, nora enak legetane, tan wurung tinggal wektu, panganggepe wus angengkoki, aja kudu sembah Hajang, wus salat kateng-sun, banjure mbuwang sarengat, batal haram nora nganggo den rawati, bubrah sakehing tata.
    07
    Angel temen ing jaman puniki, ingkang pantes kena ginuronan, akeh wong jaya ngelmune, lan arang ingkang manut, yen wong ngelmu ingkang netepi, ing panggawening sarak, den arani luput, nanging ta asesenengan, nora kena den wor kakarepaneki, pancene prijangga.
    08
    Ingkang lumrah ing mangsa puniki, mapan guru ingkang golek sabat, tuhu kuwalik karepe, kang wus lumrah karuhun, jaman kuna mapan si murid, ingkang pada ngupaya, kudu angguguru, ing mengko iki ta nora, Kyai Guru narutuk ngupaya murid, dadiya kantira.

    BalasHapus
  12. NAMA : URIPATUL AENI
    NIM : 2611411005

    • Tema : tema yang terdapat pada serat Wulangreh karya Sri Susuhunan Pakubuwana IV yaitu ajaran untuk memilih guru, kebijaksanaan dan bergaul, kepribadian,tema tata krama, ajaran berbakti pada orang lain, tema ketuhanan, berbakti kepada pemerintah, pengendalian piri, tema kekeluargaan, tema keselamatan, keikhlasan dan kesabaran, beribadah dengan baik, ajaran tentang keluhuran.

    Analisis estetika tembang (serat wulangreh) bisa dilakukan dengan menganalisis gaya bahasa dan makna atau isi tembang tersebut.

    A. Gaya Bahasa

    1. Diksi

    Kajian diksi dilakukan dengan memperhatikan aspek etimologi dan semantik. Diksi pada serat ini pastinya memanfaatkan diksi bahasa Jawa. Akan tetapi, selain Bahasa Jawa masih ditemukan diksi yang lain. Yakni yang berasal dari bahasa asing seperti Bahasa Arab. Seperti kata qur’an yang berasal dari kata qoro’a yang artinya membaca.

    2. Fonologi

    Fonologi adalah ilmu mempelajari bunyi bahasa. Tataran fonologi pada tembang ini ditekankan pada ritma dan rima serta bunyi bahasa meliputi purwakanti swara, purwakanti guru sastra, dan purwakanti lumaksita.
    Purwakanti guru swara adalah runtutnya suara. Dari tembang di atas salah satu contoh yang dapat kita temukan adalah “Jroning Qur’an nggoning rasa jati”. Dalam bait tersebut ada peruntutan swara “NG” dalam kata “jroning” dan “nggoning”. Selain pada bait tersebut dapat kita temukan adalah kata “yen sira ayun waskitha”. Pada bait tersebut ada perulangan bunyi “A” yang terdapat pada kata sira dan waskitha.
    Purwakanti guru sastra adalah runtutnya sastra. salah satu kalimat yang terdapat dalam serat wulangreh yang merupakan jenis dari purwakanti guru sastra adalah “basa kang kalantur, tutur kang katula-tula”, “tinalaten rinuruh kalawan ririh, mrih padanging sasmita”,
    Purwakanti lumaksita yaitu sastra yang mengalir seperti air. Contoh yang terdapat dalam Serat Wulangreh adalah tur durung wruh ing rasa, rasa kang satuhu, rasaning rasa punika.

    3. Morfologi
    Morfologi adalah ilmu yang mempelajari pembentukan sebuah kata. Seperti kata-kata “jroning” yang berasal dari kata jro+ning, kata “nggoning” dari kata nggon+ning, “tuduhe” yang berasal dari kata tuduh+e (ater-ater), “binawur” berasal dari awur yang mendapat seselan “in”, “pinannggih” yang berasal dari kata “panggih” yang mendapat seselan “in”, “kasampurning” yang berasal dari kata “ka+sampurna+ing”, dan “badanira” yang berasal dari kata “badan+ira”.
    Selain itu dapat kita temukan bentuk kata ulang, contohnya kata “sasar susur”. Bentuk perulangan ini menggunakan cara perubahan vokal. Perulangan kata tersebut dipilih untuk memberi makna jika kita asal-asalan dalam mencari ilmu hendaknya kita mancari seorang guru atau pembimbing untuk membimbing kita. Jika kita asal-asalan maka kita akan kesasar. Selain itu, contoh yang lain adalah “katula-tula”.
    4. Fraseologi
    Menurut Kridalaksana, fraseologi membahas masalah cara memahami kata atau frasa dalam tulisan atau ujaran, gaya bahasa, perangkat ungkapan yang dipakai oleh orang atau kelompok tertentu.
    Dalam fraseologi ini, yang dibahas adalah persoalan ungkapan khas sebagaimana definisi Kridalaksana di atas. Dalam serat tersebut ditemukan beberapa ungkapan khas. Ungkapan khas yang paling menonjol adalah ungkapan khas dari bahasa Jawa. Selain itu, ungkapan khas yang lain adalah ungkapan khas bahasa Arab. Salah satunya terdapat dalam ungkapan “prakara rumuhun, dalil qadis lan ijemak, lan kijase papat iku salah siji, ana-a kang mupakat”.

    Selain diksi, fonologi, morfologi, dan fraseologi sebenarnya masih ada yang lain. Yakni bahasa figuratif, dan metrum.

    BalasHapus
  13. Analisis kajian estetika dari serat wulangreh
    Nama : YUSUF SAPUTRA
    NIM : 2611411016
    PRODI : SASTRA JAWA

    A. DANDHANG GULA
    Dalam Serat Wulangreh ini nilai estetikanya ialah menguraikan atau mencurahkan isi hati dan kita dapat mengambil hikmah serta kita dapat mengerti dan menjiwai makna yang ingin disampaikan pada karya sastra serat wulangreh.

    B. KINANTI
    Dalam Serat Wulangreh ini nilai estetikanya ialah menceritakan tentang cara manusia bergaul dengan orang-orang disekitarnya dan berperilaku baik serta menghormati norma yang berlaku.

    C. GAMBUH
    Dalam Serat Wulangreh ini nilai estetikanya ialah hendaknya manusia selalu mematuhi peraturan yang ada, menaati peraturan tersebut dan untuk dijadikan bekal menjalani hidup di dunia ini.

    D. PANGKUR
    Dalam Serat Wulangreh ini nilai estetikanya ialah menceritakan tentang kewajiban orang yang hidup di dunia dan ketika menjalankannya harus menjaga perilaku dan tidak boleh sombong serta selalu berserah diri kepada Sang Illahi.

    E. DURMA
    Dalam Serat Wulangreh ini nilai estetikanya ialah manusia harus senantiasa bekerja keras, mengurangi makan dan tidur supaya dapat menjaga hawa nafsu sehingga membuat batin ini tenang.

    F. PUCUNG
    Dalam Serat Wulangreh ini nilai estetikanya ialah agar menjalankan hidupnya manusia harus bersosialisasi dengan orang-orang disekitarnya dan menjaga keharmonisan tersebut agar tetap harmonis.

    G. MIJIL
    Dalam Serat Wulangreh ini nilai estetikanya ialah agar kita memiliki hati yang tenang, berbudi pekerti luhur, senantiasa sabar, dan cerdas dalam menjalankan segala hal.

    H. ASMARANDANA
    Dalam Serat Wulangreh ini nilai estetikanya ialah dalam menjalankan kewajiban kewajiban dan perintah agama agar ditaati dan dilaksanakan dengan sepenuh hati.

    BalasHapus
  14. NAMA : URIPATUL AENI
    NIM : 2611411005

    Karena bentuk Serat Wulangreh adalah tembang macapat dhandhanggula. Maka akan ditemukan beberapa istilah. Diantaranya gatra, guru wilangan, dan guru lagu. Macapat mempunyai baris kalimat yang disebut gatra, dan setiap gatra mempunyai sejumlah suku kata (guru wilangan) tertentu, dan berakhir pada bunyi sajak akhir yang disebut guru lagu.

    Metrum : dhandhanggula
    Guru lagu :
    10i 10a 8é 7u 9i 7a 6u 8a 12i 7a


    B. Estetika makna dan kandungan nilai dalam Serat Wukangreh

    a. Makna Serat Wulangreh

    Dari segi estetika, tembang ini mengandung begitu banyak nilai estetika, yakni estetika dari segi bahasa dan makna. Dari segi bahasa telah kita analisis di atas. Sedangkan dari segi makna akan dibahas berikut ini.
    Tembang Dhandanggula dalam Serat Wulangreh terdiri dari delapan pada, inti dari tembang tersebut yaitu nasihat tentang mencari guru.
    Ketika kita mempunyai suatu keniatan untuk mencari ilmu, hendaknya kita tidak asal-asalan atau sembarangan agar tidak kesasar (tersesat). Jika kita tidak ingin sembarangan hendaknya kita mencari guru. Guru yang kita cari pun tidak boleh sembarangan, karena guru merupakan salah satu penentu keberhasilan kita dalam mencari ilmu.

    b. Kandungan Nilai

    Nilai yang paling menonjol dalam Serat Wulangreh adalah nilai pendidikan. Nilai pendidikan yang terdapat dalam Serat tersebut nilai ketuhanan, nilai agama, nilai kepemimpinan, nilai pengendalian diri, nilai Budi Pekerti, nilai kekeluargaan, nilai pendidikan pergaulan, nilai pendidikan kehidupan, nilai pendidikan nilainkejiwaan,dan nilai penghormatan.

    BalasHapus
  15. Ika Setiyawati
    2611411006
    Sastra Jawa

    ANALISIS KAJIAN ESTETIKA SERAT TRIPAMA

    Isi Serat Tripama

    Bait 1
    Yogyanira kang para prajurit
    Lamun bisa sira anulada
    Duk inguni caritane
    Andlira Sang Prabu
    Sasrabahu ing Maespati
    Aran Patih Suwanda
    Lelabuhanipun
    Kang ginelung tri prakara
    Guna kaya purun ingkang den antepi
    Nuhoni trah utama

    Bait 2
    Lire lelabuhan tri prakawis
    Guna bisa saneskareng karya
    Budi dadi unggule
    Kaya sayektinipun
    Duk bantu prang Manggada Nagri
    Amboyong putri dhomas
    Katur ratunipun
    Purunne sampun tetela
    Aprang tandhing lan ditya Ngalengka aji
    Suwanda mati ngrana

    Bait 3
    Wonten malih tuladhan prayogi
    satriya guna nagri ing Ngalengka,
    Sang Kumbakarna arane
    tur iku warna diyu
    suprandene nggayuh utami
    duk wiwit prang Ngalengka
    dennya darbe atur
    Mring raka amrih raharja
    Dasamuka tan kengguh ing aturyekti
    mengsah wanara

    Bait 4
    Kumbakarna kinon mansah jurit
    mring kang raka sira tan lenggana
    nglungguhi kasatriyane
    ing tekad datana sujud
    amung cipta labuh nagari,
    lan noleh yayah rena
    nyang leluhuripun
    wus mukti haning Ngalengka
    mangke arsa rinusak ing bala kapti
    punagi mati ngrana

    Bait 5
    Wonten malih kinarya palupi
    Suryaputra narpati Ngawangga
    lan Pandawa tur kadange
    len yayah tunggil ibu
    suwita mring Sri Kurupati,
    nagri Ngastina
    kinarya gul agul,
    manggala golonganing prang,
    Bratayuda ingadeken senopati
    ngalaga ing Kurawa.

    Bait 6
    Den mungsuhken kadange pribadi
    aprang tanding lan Sang Dananjaya
    Sri Karna suka manahe
    dene nggenira pikantuk
    marga denya arsa males sih
    ira Sang Duryudana
    marmanta kalangkung
    denya ngetok kasudirane
    aprang rame Karna mati jinemparing
    sembaga wiratama


    Bait 7
    Katri mangka sudarsaneng jawi
    pantes agung kang para prawira
    amirata sakadare
    ing lelabuhanipun
    hawya kongsi buang palupi
    manawa tibeng nista
    ina estinipun
    senadyan tekading budya
    tan prabeda budi panduming dumadi
    marsudi ing Kautaman

    BalasHapus
  16. 1.Penulis dari serat Tripama adalah Pangeran Mangkunegara IV di Surakarta tahun 1809-1881 M. Karangan itu berbahasa dan berhuruf Jawa, berbentuk tembang macapat Dandhanggula sebanyak tujuh bait.

    2.Tema
    Tema adalah landasan atau dasar pijakan bagi penyair untuk mengembangkan prosa. Tema juga merupakan gagasan pokok yang diungkapkan dalam sebuah prosa atau tembang. Tembang macapat dalam serat Tripama ini bertemakan Ajaran Luhur tentang Keprajuritan, Kebangsaan, dan Keteladanan

    3.Alur
    Alur adalah cerita secara runtut dari serat Tripama yang dapat disimpulkan
    Dalam serat Tripama bait pertama dapat diceritakan dari keteladanan Patih Suwanda. Tokoh yang menjadi sumber inspirasi untuk diambil suri tauladannya.
    Tiga sifat keprajuritan Patih Suwanda adalah
    •Guna berarti pandai, ahli dan terampil dalam mengabdi bangsa dan negara, Patih Suwanda selalu membekali diri dengan berbagai ilmudan keterampilan.
    •Kaya berarti seba kecukupan. Patih Suwanda ketika diutus oleh rajanya, ia kembali memperoleh harta rampasan perang yang berlimpah-limpah. Banyaknya hasil rampasan itu tidak disimpan sendiri, tetapi diserahkan kepada negara.
    •Purun berarti pemberani, bersemangat dan dinamis sebagai pemuka negara. Patih Suwanda selalu tampil dengan semangat menyala-nyala tanpa disertai pamrih. Bahkan bila perlu jiwa raganyapun dikorbankan. Hal ini terbukti ketika ia berperang melawan Dasamuka, rajaNgalengka dan ia gugur di medan laga.

    Kemudian ada cerita luhur lain yang terdapat di serat tripama cerita ini mengisahkan tentang seorang raksasa dari Ngalengka yang mempunyai watak kesatria yaitu raksasa Kumbakarna. Dia adalah adik kandung dari Rahwana. Saat itu Ngalengka diserbu oleh tentara kera. Kumbakarna pun turut maju perang, tetapi bukan untuk membantu kakaknya, melainkan untuk maju sebagai seorang kesatria yang berusaha mempertahankan tanah kelahirannya dan tanah peninggalan para leluhurnya tersebut. Di hadapan tentara kera, dia pun akhirnya gugur di medan perang.
    Pada selanjutnya pun bercerita tentang kepahlawanan yang hampir mirip dengan uraian di atas yaitu Karna yang lebih memilih pihak Kurawa walaupun dia tidak memihak pada Duryudana, kemudian Suwita yang mengabdi kepada Sri Nurupti di Ngalengka hingga terpilih menjadi panglima perang.

    4.Guru gatra, guru lagu dan guru wilangan
    Dalam tembang macapat Dhandhanggula khususnya pada serat tripama terdiri dari 7 gatra masing-masing setiap gatra terdiri dari 10 larik.
    Tembang macapat dhandhanggula terdiri dari guru lagu, guru wilangan dan guru gatra yaitu 10i, 10a, 8e, 6u, 9i, 8a, 6u, 8a, 12i, 7a

    BalasHapus
  17. 5. Terjemahan
    Bait 1
    Wahai semua prajurit, contohlah segala tingkah laku, kesetiaan dan ketaatan seorang senopati bernama Suwanda yang sangat dibanggakan, oleh sang Prabu Harjuna Sasrabahu di Maespati, yang mencakup tiga soal.
    Pertama “Kepandalan (ilmu)”; Kedua “Kekayaan akan akal”, pikiran dan siasat peperangan dan Ketiga “Kebenaran” yang penuh dengan semangat patriotik; inilah yang disebut manusia utama


    Bait 2
    Adapun yang dimaksud dengan tiga contoh pengabdian tersebut, adalah guna (berarti) dapat melaksanakan segala hal, dan diusahakan menjadi keunggulannya, kaya (berarti) ketika (membantu) melakukan perang ke negara Magada, dan berhasil memboyong/merebut putri domas (Citrawati dan 800 pengiringnya) untuk dipersembahkan kepada rajanya dan purun/berani/kemauan adalah seperti tampak jelas di kala dengan gagah berani perang melawan raksasa (Rahwana) dari negri Alengka, dan Sumantri gugur dalam medan perang.

    Bait 3
    Ada lagi teladan yang patut dicontoh, seorang ksatria agung dari negeri Alengka, bernama Kumbakarna, walaupun ia berwujud raksasa, namun berbudi utama (luhur), sejak perang Alengka, ia selalu mengingatkan kepada kakaknya demi keselamatan negara, namun Rahwana tidak mau berubah pendiriannya untuk melawan prajurit kera.

    Bait 4
    Kumbakarna setelah, mendengar perintah dari kakaknya, untuk melawan musuh yang menyerang negaranya, berangkat tanpa mendak karena memegang teguh sifat keksatriaannya, walaupun di dalam hatinya sesungguhnya tidak setuju akan perbuatan kakaknya yang salah, tetapi dia tetap berangkat ke medan perang dengan maksud untuk membela negara, keluhuran keluarga, leluhurnya dan bangsanya. Maka ia bersemboyan lebih baik mati dalam medan peperangan dari pada hidup mewah di Alengka tetapi (di rusak) prajurit kera.

    Bait 5
    Adalagi teladan yang pantas dicontoh, Suryaputra seorang Narpati dari Awangga, dengan Pandawa yang masih bersaudara, lain ayah tetapi sekandung (sama ibu), yang dengan setia mengabdi kepada Prabu Kurupati dari negeri Astina sebagai agul-agul (benteng), panglima perang, dalam perang Bratayuda menjadi senopati (perang) untuk membela Kurawa.

    Bait 6
    Sang Karna gembira mendengar perintah rajanya yang melawan saudaranya sendiri berperang dengan Sang Arjuna, karena inilah satu-satunya jalan untuk dapat membayar budi, rajanya yang telah memberi derajad, pangkat, kenikmatan duniawi, maka berangkatlah dengan kekuatan yang ada kemedan pertempuran guna menunaikan tugas senapatinya dan akhirnya Adipati Karna gugur dalam medan pertempuran sebagai perwira utama”.

    Bait 7
    Ketiga contoh itu merupakan teladan di jawa, yang pantas jikalau semua para prajurit dapat menghayati sekuasanya, dalam pengabdiannya terhadap (kerajaan), jangan sampai melalaikan contoh-contoh baik, jika jatuh kelembah nista, hina, kemauannya; walaupun sentausanya budi tidak ada lain hendaknya berusaha sesuai dengan harkat hidupnya, berusaha dalam keutamaan.

    6.Makna filosofis
    •Tiap-tiapp warga Negara mempunyai kewajiban membela tanah air
    •Ajaran tentang cinta tanah air dan wajib bela Negara itu juga bisa kita temui dalam ungkapan-ungkapan tradidional
    •Dalam menilai suatu hal kita perlu cermat dan hati-hati, harus bisa membedakan baik buruknya secara tepat
    •Kepentingan bangsa dan Negara harus lebih diutamakan daripada kepentingan pribadi dan golongan
    •Demi kepentingan bangsa dan Negara kita harus rela berkorban jiwa, harta dan raga

    BalasHapus
  18. NAMA : AFILIASI ILAFI
    NIM : 2611411001

    YASADIPURA 1
    SERAT CABOLEK
    Pupuh 1
    Dhandhanggula
    (14)
    Wuwusira Dewa Suksma Ruci, 10 a
    payo Wêrkudhara dipun-enggal, 10e
    manjinga garbengong kene, 8u
    Wrêkudhara gumuyu, 7i
    pan angguguk turira aris, 9a
    dene paduka bajang, 7u
    kawula gêng luhur, 6a
    inggih pangawak parbata, 8a
    saking pundi margine kawula manjing, 12i
    jênthik mangsa sêdhênga. 7a

    Analisis Tembang :
    A. Guru Gatra : cacahing gatra saben sak pada
    Dari tembang di atas terdapat 10 gatra
    B. Guru Wilangan : cacahing wanda ing saben gatra
    Dari tembang di atas terdapat wilangan yaitu 10, 10, 8, 7, 9, 7, 6, 8, 12, 7
    C. Guru Lagu : tibaning swara ing pungkasaning gatra (dong ding) , Dari tembang terdapat guru yaitu a, e, u, i, a, u, a, i, a
    ( gatra = baris, wanda = suku kata, pada = bait )
    D. Makna dari Yasadipura 1 serat cebolek
    Menurut pendapat saya bahwa makna dari yasadipura 1 serat cebolek itu bahwa jadilah seperti halnya dewa ruci yang merasa dimasuki sama werkudara, yang mana roh dewa ruci masuk dalam jiwanya werkudara, werkudara merasa senang dan tertawalah dia, yang tak tau dari mana asalnya bisa masuk.
    E. Gaya bahasa
    Gaya bahasa yang digunakan menggunakan bahasa jawa kuna, terbukti adanya kata sedhenga, yang pada masa ini jarang digunakan atau mungkin tak digunakan lagi.
    F. Isi serat cebolek
    Menceritkan kisah haji mutama mungkin yang bernama ki cebolek. Dia dituduh oleh para ulama yang di pimpin oleh katib anom kudus sebagai haji yang melanggar syariat islam. Dia diadili pada masa sunan paku buwana 1 tetapi mendapat pengampunan (poerbatjaraka,1957:144). Serat cebolek menyangkut perselisihan agama tahun 1720-1730 (ricklefs:1995:84). Cerita cebolek yang berisi tentang pertentangan paham ini di ilhami oleh cerita simbolik dengan dihukum matinya seh siti jenar, sunan panggung, ki bebeluk, dan seh amongrag, semua dituduh karena menyebarkan ajaran sesat yang dapat meresahkan masyarakat, yaitu paham wahdatul wujud, manunggaling kawula gusti, kesatuan manusia dengan tuhan, dan mengaku sebagai tuhan. Peristiwa seh siti jenar pada jaman giripura, sunan panggung terjadi pada jaman keraton demak, dan ki bebeluk terjadi pada jaman pajang dan seh amongraga terjadi pada jaman mataram dengan rajanya sultan agung.

    BalasHapus
  19. Nama : Wahyu Dwi Kismawarni
    Nim : 2611411007
    Prodi : Sastra Jawa
    SERAT SRI UTAMA
    ~ PUPUH VI ~
    S I N O M
    1. Dadya gunggungirèng sêkar, nênêm sinom ngaping kalih, sinom pungkasan kinarya, mèngêti ukuran maring, krêtêg kèhnya winilis, catur kang wiwit dènukur, karêtêging bangawan, ing Padhasgêmpal pinanggih, nênêm mètêr astha dhèsi wiyarira.
    Jadilah bangunan tembang ke enam yakni Sinom yang ke dua. Sinom yang terakhir dibuat. Memperingati ukuran jembatan yang jumlahnya sudah ditentukan yakni empat, yang pertama diukur jembatan Padhasgempal didapati lebarnya 6 m lebih 8 dm,
    2. Déné ukuran dirganya, satus gangsal mawa lêwih, satêngah mètêr déné ta,krêtêg Samaulun kali, ukurannya pinanggih, tigang mètêr langkungipun, sangang dhèsi wiyarnya, dé dirganira pinanggih, satus kalih mètêr pétang ukurira.
    Sedangkan ukuran panjangnya 105 lebih 0,5 m. Sedangkan jembatan Samaulun Ukurannya 3 m lebih 9 dm lebarnya, sedangkan panjangnya 102 m.
    3. Dé krêtêg Ngutêr wiyarnya,sakawan mètêr tan luwih,déné ukur panjangira,satus gangsal mètêr luwih, amung sêsanga dhèsi, déné krêtêg Bacêm wau, ukuran wiyarira, kawan mètêr sangang dhèsi, panjangipun satus kawan likur pétang.
    Sedangkan jembatan Nguter lebarnya 4 m tak ada lebihnya, sedangkan ukuran panjangnya 105 m lebihnya hanya 9 dm. Sedangkan jembatan Bacem ukuran lebarnya 4 m 9 dm, Panjangnya 124
    4. Mètêr ukuran Éropah,gumlaring crita mèngêti,ginubah sinambi séba, ing siyang kalawan ratri, kang samya dèndhawuhi, bêsiyar marang ing purug, kang wus kasêbut bêntar, prapta wismanya basuki,déning saking pangèstu dalêm Sri Nata.
    M ukuran Eropa. Tersusunnya cerita peringatan dikarang sewaktu menghadap di siang dan malam. Semua yang ditugasi melakukan perjalanan ke tempat yang sudah disebutkan di depan, sampai di rumah dengan selamat berkat doa restu dari sang raja.
    5. Amila katri wadyèndra, sarimbit santa pudya mring, ing Gusti Kang Maha Mulya, sinêbut rahmanirakim, kang mugi amimbuhi, murah sih mring Gusti ulun, kamulyan karaharjan, nyupangati garwa siwi, wangsa wadya kawula satanah Jawa.

    BalasHapus
  20. Maka ketiga prajurit raja yang berpasangan mengucap syukur kepada Tuhan Yang Maha Mulia yang disebut Rahmanirrakhim. Yang mudah-mudahan menambah kemurahan hati kepada raja kami, kemuliaan dan keselamatan. Bermanfaat bagi anak istri, keturunannya, serta prajurit setanah Jawa.
    6. Sampating mangun ukara, sinawung kidung supadi,dudyat16 arsayèng wardaya, nadyan arungsit kapati, binangkitkên dumadi, dêdalan wawênganipun, tan kawêkèn anggubah , têmbung têmbang sagêd manis, ing wêkasan manisé asêmu sêpa.
    Selesainya menyusun kalimat dibuat tembang supaya membangkitan senangnya hati. Meskipun dalam menyusunnya sulit, namun dengan semangat maka jadilah. Susunannya tidak boleh diubah, dengan maksud agar kata dalam tembang menjadi manis, karena nanti manisnya agak hambar.
    7. Kocapan kang dipunkêcap, lir pada pincang dumadi, gumlindhinging sêmu gronjal, sajroning sapada lungsi, kèh kêcapan mancasi, tan cocog lan lagunipun, wit saking lukitanya, dèrèng jangkêp ing sakrami, kadêrêng tyas mardi budi kêkidungan.
    Perkataan yang diucapkan menjadi seperti kaki pincang sehingga jalannya agak bergelombang. Dalam setiap akhir kata pada bait, banyak ucapan yang berlebihan tidak cocok dengan aturan persajakannya. Oleh karena ilmunya belum lengkap, belum mengerti ilmu tembang,
    8. Marma upami cinêda, déning kang para winasis,sawastu amung narima, mandar santya pudya maring, rikanang pra winasis, nuli ngayomi kang wahyu, kawindra kanugrahan, mirib supangating Nabi, panutuping pra Ambiya waspadèng tyas.
    Maka berlapang dada jika disalahkan oleh yang ahli. Sungguh hanya menerima, dan justru mengucapkan terimakasih kepada para ahli tersebut, yang kemudian mau menjaga karya pujangga termasyur yang diberkahi, seperti Nabi Penutup para Ambiya yang senantiasa waspada.
    9. Sadèrèngira winarah, saiba bingahing ati, kantun pruwita kéwala, ing ngélmu tatrapan asih, mrih sipat sasawiji, kang ajêg ngumandhang ngurung, andadèkkên sabarang, sakaliring alam bangkit, nuntun atul têkdir ékramé sampurna.
    Sebelum saya mengajarkan betapa senangnya hati mau berguru terhadap ilmu tentang sifat wajib, istikomah dalam melaksanakan dan menjaga. Menjadikan segala sesuatu, semua yang ada di alam sebagai penuntun menuju ketaukhidan yang sempurna.
    10. Punika srat winastanan, Sri Utama dènya dadi, kawastanan Sri Utama, déné para ingkang sami, srimbitan bêsiyar mring, wanarga bêbungah kalbu, wit sabab bangkitira, mabur sasat nunggang thathit, tuhu déning utamèng jêng Sri Naréndra.
    Inilah serat yang dinamai Sri Utama, menjadikannya dinamai Sri Utama oleh karena mereka yang berpasangan melakukan perjalanan ke Wanagiri bersenang hati karena perjalanannya begitu cepat seperti halnya naik petir, patuh terhadap tugas utama sang raja.
    11. Cinupêt kêcap cinancang, nèng crita niti masani Sukra Wagé nuju tanggal, ping tri likur Rabyalakir, taun Dal angka warsi, wiku suci ngèsthi ratu, katêtuman sungkêmnya, ing narèswara wit saking, kantun mangsul sih Nata lir| truh sarkara.

    Kata telah terbatas tak mampu menjawab, waktu selesainya cerita Jumat Wage tanggal dua puluh sembilan Rabiluakhir tahun Jimawal 1847. Selalu dinanti persembahannya oleh sang raja karena membuat raja kembali senang bagai tersiram kata-kata manis.

    BalasHapus
  21. ANALISIS PUPUH - VI
    S I N O M
     Tema :
    Membangun tembang sinom yang ke dua. Sinom yang terakhir memperirganti ukuran yang telah ditentukan, yang pertama diukur jembatan Padhasgempal didapati lebarnya 6 m lebih 8 dm, Sedangkan ukuran panjangnya 105 lebih 0,5 m. Sedangkan jembatan Samaulun Ukurannya 3 m lebih 9 dm lebarnya, sedangkan panjangnya 102 m. Sedangkan jembatan Nguter lebarnya 4 m tak ada lebihnya, sedangkan ukuran panjangnya 105 m lebihnya hanya 9 dm. Sedangkan jembatan Bacem ukuran lebarnya 4 m 9 dm, Panjangnya 124 setelah itu tersusun lah cerita peringatan dikarang sewaktu menghadap di siang dan malam, Semua yang ditugasi melakukan perjalanan ke tempat yang sudah disebutkan di depan, sampai di rumah dengan selamat berkat doa restu dari sang raja. Maka ketiga prajurit raja yang berpasangan mengucap syukur kepada Tuhan Yang Maha Mulia yang disebut Rahmanirrakhim
     Amanat :
    Sebaiknya melaksanakan dan menjaga. Menjadikan segala sesuatu, semua yang ada di alam sebagai penuntun menuju ketaukhidan yang sempurna.
     Alur :
    Alur yang digunakan adalah alur maju.
     Sudut pandang :
    Sudut pandang orang ketiga
     Setting waktu dan tempat
    Pada waktu siang dan malam
    Bertempat di tanah jawa dan daerah wonogiri
     Kata
    Yang digunakan menggunakan jawa kuna dan klasik

    BalasHapus
  22. NAMA : ANA SHOFIANA
    NIM : 2611411020
    PRODI : SASTRA JAWA_11

    SERAT SRI UTAMA
    ~ PUPUH I ~
    DHANDHANGGULA
    Arungsit sru déramba mrih manis (10i)
    lwirnya angèl gyan ulun ngupaya (10a)
    ing têmbung tinêmbungaké (8e)
    binangkitkên andudud (7u)
    lêngênging tyas kanang sudyapti (9i)
    wardinya sukèng driya (7a)
    kang sudi ing kayun (6u)
    kayun karsa jarwanira (8a)
    miyarsakkên sumawana ngudanèn (11e)
    marang ing srat punika (7a)
    Terjemahan:
    Begitu sulit bagi saya menjadikannya indah, ibarat sulit tetap saya upayakan, di setiap kata-katanya agar menarik, Penyejuk jiwa yang baik, maksudnya menyenangkan hati, bagi yang sudi berkeinginan, berkeinginan untuk memahami, mendengar serta mengamati, terhadap serat ini.


    2. Pêpèngêtan nalikanya nguni (10i)
    ulun ngabèhi Atmasukadga (10a)
    mundhi dhawuh sangandhapé (8e)
    padéndra kang Sinuhun (7u)
    Kangjeng Susuhunan utawi (9i)
    kang tyasnya jawi iman (7a)
    mashurkên yèn tuhu (6u)
    nata pakuning buwana (8a)
    myang sayidin panata gama mêngkoni (12i)
    Kadhatyan Surakarta (7a)
    Terjemahan:
    Peringatan dahulu kala ketika, saya Ngabehi Atmasukadga, mendapat tugas dari, Sang Raja yaitu Sinuhun, Kangjeng Susuhunan atau, yang dipercaya di tanah Jawa. Termasyur benar, sebagai pedoman di dunia, serta pemimpin agama yang memimpin, Keraton Surakarta.
    ANALISIS SERAT SRI UTAMA DHANDHANGGULA BAIT PRTAMA DAN KEDUA DENGAN KAJIAN ESTETIKA
    Dari dua buah bait kutipan tembang macapat dhandhanggula yang merupakan bagian dari Serat Sri Utama diatas dapat kita analisis dalam kajian estetika bahwa didalam Serat Sri Utama (tembang dhandhanggula) terdapat:
    a. Guru Gatra (jumlah baris tiap bait/wilangan larik saben pada) yang berjumlah 10 baris tiap baitnya.
    b. Guru Wilangan (jumlah suku kata tiap baris) yang secara urut berjumlah 10, 10, 8, 7, 6, 8, 7, 6, 8, 12, 7, 9.
    c. Guru Lagu (rima akhir baris) yang secara urut berakhir dengan vokal i, a, e, u, i, a, u, a, i, a, a, i.
    d. Purwakanthi guru swara (keteraturan suara yang umumnya adalah suara vokal) seperti pada contoh kalimat “Kadhatyan Surakarta” ( keteraturan swara a).
    e. Purwakanthi guru sastra (keteraturan pada konsonan) contoh dalam kalimat “mundhi dhawuh sangandhapé” (keteraturan sastra d).

    BalasHapus
  23. Nama : Dany Kristian Agustinus
    NIM : 2611411021


    SERAT SRI UTAMA
    PUPUH I
    DHANDHANGGULA
    Serat Sri Utama :
    1. Arungsit sru déramba mrih manis, lwirnya angèl gyan ulun ngupaya, ing têmbung tinêmbungaké, binangkitkên andudud, lêngênging tyas kanang sudyapti, wardinya sukèng driya, kang sudi ing kayun, kayun karsa jarwanira, miyarsakkên sumawana ngudanèni, marang ing srat punika.
    2. Pêpèngêtan nalikanya nguni, ulun ngabèhi Atmasukadga, mundhi dhawuh sangandhapé, padéndra kang Sinuhun, Kangjeng Susuhunan utawi, kang tyasnya jawi iman, mashurkên yèn tuhu, nata pakuning buwana, myang sayidin panata gama mêngkoni, Kadhatyan Surakarta.
    3. Hadiningrat darwanirat jawi, ulun kinèn ngirita supadya, Radyan Tumênggung parabé, Arung-|binang Sri Wadu, dé Sri Wadu wau winardi, wadya dalêm naréndra, pamajêgan dhusun, ing gêgatan umawrina, têgêsipun umawrina wruha maring, krêtêg Bacêm Ngutêr myang.
    4. Padhasgêmpal Samaulun nami, saha ulun nalika dinuta, mrih kyai lurah uningèng, krêtêg sakawan wau, lawan dipunparingi kanthi, ngabèhi Taliwanda, myang dhawuh Sang Prabu, tiyang tiga ulun lawan, kanthi kula wau Taliwanda tuwin, Dyan Mênggung Arungbinang.
    5. Sami ingandikakkên sarimbit, lan swaminya sarta kapatêdhan, swaniti motor sartané, dhawuh dalêm Sang Prabu, angkatira saking ing panti, nêtêpana wanci jam, énjang pukul pitu, ya ta badhamyan winarna, angkatira ingangkah marêngi ari, Ngad Wagé nuju tanggal.
    6. Kaping astha wêlas Pébruwari, taun sapta juga rong prawira, déné lèk jawi tanggalé, ping kawanlikur nuju, Rabyalakir warsa marêngi, puniku winastanan, Dal angkaning taun, wiku suci murtining rat, Ijrah Nabi tata guna gunèng aji, Kunthara windunira.
    7. Duk ing Saptu dalu ngrintênkên ri, wau Ngahad kang samyarsa mangkat, kacarita nalikané, déra samya galugur, guling layap byur-byuran nglilir, dadya mèh tantuk nêndra, dupi wancinipun, pukul tiga tangi samya, adus wusnya palêstha dènira mandhi, asamya wiwit dandan.
    8. Jroning dandan amyarsakkên maring, ting cruwi-|tnya swaraning kukila, kang nèng taron pomahané, cingcinggoling lan manuk, thilang glathik êmprit lan pêking, angocèh swaranira, wèh rênèng pangrungu, mimbuhi sênênging driya, dènnya samya ginanjar jêng Sri Bupati, arsa winyatkên arga.
    9. Sadaya wus rampung dènnya sami, amanganggya purwa prabangkara, purwa prabangkara lwiré, ing wétan cahyanipun, Sang Hyang Surya sampun nyoroti, nyilakkên rêpêting rat, sirna dadya santun, panjingglanging satngah sapta, wau ingkang samyarsa kula ampiri, wus sawégèng pandhapa.
    10. Déné ulun kang ngripta bêbisik, Atmasukadga ugi mangkana, satngah sapta ing wanciné, sampun sawéga lungguh,nèng pantyasa ngarsa ngantyani, wau motor| wahana, paring jêng Sang Prabu , dupi wanci jam kasapta, kirang dasa mênut abdi dalêm supir, Bêkêl Wignya saksana.
    11. Nyudhiyakkên rikanang swaniti, motor munggèng salor wiwaramba, srog prapta taman talompé, ulun umangkat laju, anumpaki wau swaniti, sarimbitan swamimba, wusnya tata lungguh, masin pinutêr lumaksa, swaranira sès-sès uwab wimba wèh wrin, mring janma kang tumingal.
    12. Gya lumaksa sêr myang dyan ngampiri, mring kang parlu katuju karséndra, mrih myat krêtêg catur kèhé, nênggih ki lurah wau, Arungbinang ingkang bêbisik, lajêng kéwala mangkat, lan wau tan kantun, Taliwanda sarimbitan, nulya samya alungguh munggwèng swa-|niti, wusnya satata sila.
    13. masin motor gya pinutêr nuli, swara sès-sès ngêsês kukusira, anyêmprot kaworan ing wé, nulya manglêr lumaku, karindhikkên nanging upami, katututan turangga, wus manyok kang sêngkut, parèstri kang nut manumpak, tinuduhkên kang dèrèng dipunwêruhi, suka tan èngêt wuntat.
    Serat ini menggunakan Gaya Bahasa Personifikasi : Kemudian mesin motor segera dinyalakan, suara ses ses mendesis, uapnya bercampur air..

    BalasHapus
  24. Analisis Geguritan :
    Dahulu kala ketika, Ngabehi Atmasukadga, mendapat tugas dari Sang Raja yaitu Sinuhun, Kangjeng Susuhunan atau, yang dipercaya di tanah Jawa. Termasyur namanya, sebagai pedoman di dunia, serta pemimpin agama yang memimpin Keraton Surakarta.
    Saya diperintah untuk mengiring Raden Tumenggung yang bernama Arungbinang Sri Wadu, sSri Wadu tersebut dijelaskan seorang prajurit raja seorang pamajegan dusun.
    Dan ketika saya mengiring, kyai lurah untuk mengamati, keempat jembatan tersebut, dengan diberi teman, Ngabehi Taliwanda. Untuk melaksanakan tugas dari Sang Raja, tiga orang dengan saya, teman saya Taliwanda serta, Raden Tumenggung Arungbinang.
    Semua diceritakan berpasangan dengan istrinya, serta diberikan kendaraan motor. Peritah sang raja, keberangkatan saya dari rumah, tepat pada pukul tujuh pagi. Diceritakan keberangkatan saya yakni pada hari Minggu Wage tanggal, Delapan belas Pebruari tahun 1917. Sedangkan kalau tahun Jawa tanggal dua puluh empat Rabiulakhir tahun yang dinamakan tahun Jimawal 1847. 1335 H. Windunya windu Kunthara.
    Ketika Sabtu malam menjelang hari Minggu, mereka yang mau berangkat diceritakan pada waktu itu semua berbaring tidur berserakan. Begitu waktu menunjukkan pukul tiga pagi semuanya bangun, mandi, seusai mereka mandi semua mulai berdandan.
    Selama berdandan terdengarlah kicauan suara burung yang ada di pekarangan rumahnya. Burung cingcinggoling dan burung kutilang, gelatik, pipit dan peking. Kicauan suaranya begitu merdu saat didengar. Menambah senang hati mereka yang menerima tugas dari sang raja untuk pergi ke gunung.
    Ketika semuanya sudah selesai, mereka yang hendak saya jemput sudah siap di pendapa. Sedangkan saya, pada pukul setengah tujuh sudah dan menunggu mereka di kendaraan motor pemberian sang raja. Sampai pada pukul tujuh kurang sepuluh menit abdi dalem sopir Wignya segera menyiapkan kendaraan tersebut. Motor berada di utara pintu rumah saya, tak lama kemudian saya pergi menaiki kendaraan tersebut bersama dengan istri saya. Mesin dinyalakan lalu berjalan. Suara ses-sesnya seakan memberi peringatan kepada orang-orang yang melintas.
    Saya segera pergi menuju ke tempat yang hendak saya jemput, menuju tempat yang hendak dituju sesuai kehendak raja, untuk mengamati jembatan yang berjumlah empat. Ki lurah yang bernama Arungbinang. Dan tidak ketinggalan pula Taliwanda beserta istri. Kemudian semuanya duduk di kendaraan. Kemudian mesin motor segera dinyalakan, suara ses-ses mendesis, uapnya menyembur bercampur air. Kemudian berjalan lambat, diperlambat namun dengan kira-kira. Disalip oleh kuda. Sudah jauh tersebut yang menyalip. Para perempuan yang ikut naik diberitahu yang belum diketahui. Begitu senang mereka hingga tidak ingat yang sudah terlewati.

    Alur : Maju
    Gaya Bahasa : Personifikasi contohnya: Kemudian mesin motor segera dinyalakan, suara ses-ses mendesis, uapnya menyembur bercampur air.
    Sudut Pandang : orang pertama pelaku utama
    Tema : Seseorang yang setia kepada Rajanya
    Amanat : jadilah orang yang bertanggung jawab disetiap tugas yang diberikan kepadamu
    Setting : gunung
    Waktu : sabtu malam menjelang minggu.

    BalasHapus
  25. Nama : Ahmad Alfan Rizka Alhamami
    Rombel (prodi): Sastra Jawa
    NIM : 2611411014

    Analisis Estetika dalam Tembang Macapat Dalam Serat
    Serat Wedhatama (Lanjutan)
    Pucung
    Ngelmu iku Kalakone kanthi laku
    Lekase lawan kas
    Tegese kas nyantosani
    Setya budya pangekese dur angkara
    - Terjemahnya:

    “Ilmu (hakekat) itu, diraih dengan cara menghayati dalam perbuatan, dimulai dengan kemauan, artinya kemauan membangun kesejahteraan terhadap sesama. Teguh membudidaya menaklukan semua angkara”

    - Guru gatra, Guru lagu, dan Guru wilangan
    Guru gatra (baris) : Dalam tembang macapat sudah dipatenkan jumlah baris (gatra) dalam setiap tembangnya. Dalam tembang di atas yaitu Pucung terdiri dari 4 baris (gatra)
    Guru wilangan (Jumlah suku kata) :
    1. Baris pertama : 12 suku kata
    2. Baris kedua : 6 suku kata
    3. Baris ketiga : 8 suku kata
    4. Baris keempat : 12 suku kata
    Guru lagu (Huruf vokal yang terdapat dalam kata terakhir):
    1. Baris ke-1 : u
    2. Baris ke-2 : a
    3. Baris ke-3 : i
    4. Baris ke-4 : a

    - Keindahan dan nilai tersirat
    Tembang pucung ini saat ditembangkan menggetarkan hati, membuat merinding seluruh tubuh dan ketika mendengar “Ngelmu iku kalakone kanthi laku”, penggalan tersebut menyiratkan bahwa ilmu itu harus diraih dengan perbuatan yang baik. Tanpa perbuatan dan hayati ilmu tersebut akan percuma dan tidak ada manfaatnya.

    Kinanthi
    Mangka kanthining tumuwuh,
    Salami mung awas eling,
    Eling lukitaning alam,
    Dadi wiryaning dumadi,
    Supadi nir ing sangsaya,
    Yeku pangreksaning urip.

    - Terjemahan: ” Padahal bekal hidup selamanya waspada dan ingat. Ingat akan pertanda yang ada di alam ini, Menjadi kekuatannya asal-usul, supaya lepas dari sengsara. Begitulah memelihara hidup”.


    - Guru gatra, Guru lagu, dan Guru wilangan
    Guru gatra (baris) : Dalam tembang macapat sudah dipatenkan jumlah baris (gatra) dalam setiap tembangnya. Dalam tembang di atas yaitu Kinanthi terdiri dari 6 baris (gatra)
    Guru wilangan (Jumlah suku kata per baris) :
    1. Baris pertama : 8 suku kata
    2. Baris kedua : 8 suku kata
    3. Baris ketiga : 8 suku kata
    4. Baris keempat : 8 suku kata
    5. Baris kelima : 8 suku kata
    6. Baris keenam : 8 suku kata
    Guru lagu (Huruf vokal yang terdapat dalam kata terakhir):
    1. Baris ke-1 : u
    2. Baris ke-2 : i
    3. Baris ke-3 : a
    4. Baris ke-4 : i
    5. Baris ke-5 : a
    6. Baris ke-6 : i

    - Keindahan dan nilai tersirat
    Sejatinya semua tembang macapat itu miris ning ati (meresap di hati), dalam tembang ini keindahan saat di tembangkan mengingatkan akan keadaan alam yang tidak menentu, alam yang mempunyai kekuatan yang amat besar dan kita harus waspada dan ingat untuk merawat alam supaya bisa hidup tanpa kesengsaraan.

    BalasHapus